Gunung Bromo, adalah salah satu gunung berapi aktif di Indonesia, terletak dalam wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur. Secara administrative Gunung Bromo terletak pada 4 wilayah, yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Pasuruan. Bentuk tubuh gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera dan lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.
Komunitas Suku Tengger menyebar pada 4 wilayah Kabupaten tersebut dan Gunung Bromo adalah merupakan pusat dari kehidupan dan kekuatan. Penyebaran ini merupakan misteri tersendiri, seperti menggambarkan kearifan kejawen yang berbunyi kiblat papat limo pancer, artinya komunitas Suku Tengger sebagai kiblat papatnya dan Gunung Bromo sebagai pancernya. Oleh karena itu mengapa Suku Tengger tidak bisa di pisahkan dari Gunung Bromo.
Penyebaran Suku Tengger di 4 wilayah, lebih nampak nyata pada beberapa wilayah, misalnya di Tosari Kabupaten Pasuruan, Sukapura Kabupaten Probolinggo, Ngadas Kabupaten Malang dan Ranupane, Senduro Kabupaten Lumajang.
Legenda Asal Usul Suku Tengger
Kata Tengger, di kaitkan dengan keberadaan Rara Anteng dan Jaka Seger. Alkisah, pada zaman dahulu, ada seorang putri dari Kerajaan Majapahit bernama Rara Anteng. Pada satu masa, keadaan negeri Majapahit sedang memburuk, maka Rara Anteng bersama punggawanya mencari tempat hidup yang lebih aman dan tentram, sampailah dia di pegunungan Tengger di Desa Krajan, setelah satu windu, dia melanjutkan perjalanan menuju gunung Penanjakan dan bermukim di sana.
Sementara itu, Kediri juga kacau sebagai akibat situasi politik di Majapahit. Joko Seger, putra seorang brahmana, mengasingkan diri ke Desa Kedawung sambil mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di desa ini, Joko Seger mendapatkan informasi adanya orang-orang Majapahit yang menetap di Pananjakan. Joko Seger pun melanjutkan perjalanannya sampai Pananjakan. Disinilah Joko Tengger dan Rara Anteng bertemu dan akhirnya menikah.
Sampai sewindu usia pernikahan mereka, akan tetapi belum di karuniai anak, maka pasangan suami istri ini memutuskan untuk melakukan semedi mengharap kepada sang hyang widi agar di karuniai anak, mereka bertapa selama 6 tahun dan setiap tahun berganti kiblat. Akhirnya permintaan mereka di kabulkan dengan syarat anak terakhir harus di korbankan di kawah gunung Bromo.
Bertahun kemudian, pasangan ini tidak menepati janji karena tidak rela mengorbankan anak terakhirnya yang di beri nama R Kusuma ke kawah Bromo, akhirnya dari kawah Bromo terdengar suara gemuruh dan mengeluarkan api. Pasangan ini sadar bahwa kawah Bromo menuntut janji agar di tepati. R Kusuma kemudian disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun semburan api itu sampai juga di Ngadas. R Kusuma lantas pergi ke kawah Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara R Kusuma supaya saudara saudaranya hidup rukun. Ia rela berkorban sebagai wakil saudara-saudaranya dan masyarakat setempat.
Ia berpesan, setiap tanggal 14 Kasada, agar di beri sesaji berupa hasil bumi, peristiwa inilah yang kemudian merupakan cikal bakal perayaan Kasada di kalangan masyarakat Tengger.
Kehidupan Sosial Suku Tengger
Gunung Bromo bagi masyarakat Tengger adalah juga merupakan pusat interaksi social, setiap tahun mereka berkumpul untuk berinteraksi satu sama lain, beribadah bersama. Mereka mempercayai bahwa nenek moyang mereka berada di dalam Gunung Bromo, oleh karena itu banyak perayaan upacara yang mereka lakukan adalah bagian dari pemujaan nenek moang yang mereka lakukan di kaki dan kawah Gunung Bromo.
Masyarakat Tengger sangat menjunjung tinggi falsafah tentang hubungan antar manusia yang di ajarkan oleh nenek moyang mereka, yaitu : setya budaya ( taat, tekun, mandiri), setya wacana (setia pada ucapan), setya semaya (setia pada janji), setya laksana (patuh, tuhu,taat) dan setya mitra (setia).
Profil Masyarakat Suku Tengger
Masyarakat Suku Tengger mempunyai ciri khas dalam penampilannya, yaitu menggenakan sarung, dalam istilah mereka disebut kawengan. Sarung digunakan penghangat dari serangan angin dingin yang menusuk tulang, selain harganya murah, sarung mudah didapat dibandingkan pakaian hangat lainnya.Agama Hindu Tengger
Mayoritas masyarakat Suku Tengger memeluk agama Hindu, akan tetapi agama Hindu yang di anut oleh masyarakat Suku Tengger tidak sama dengan agama Hindu di Bali. Perbedaan antara agama Hindu di Bali dan agama Hindu masyarakat Tengger adalah masyarakat Tengger masih menganut kepercayaan dan tradisi lama yang pernah berkembang pada jaman Majapahit seperti cara bersaji, berkurban, berdoa, menari tarian suci, tidak berlaku sistem kasta. Persamaannya adalah pada masyarakat Tengger juga mengenal Padmasari dan Padmasana.Padmasari adalah tempat pemujaan yang didirikan di depan rumah , sedangkan Padmasana adalah tempat pemujaan di setiap Pura yang terdapat di setiap desa sebagai tempat ibadah atau sanggar pemujaan.
Keluarga dan Kekerabatan Suku Tengger
Seperti kehidupan keluarga pada umumnya, masyarakat Tengger juga berusaha mensejahterakan keluarga dengan terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan, hanya saja dalam penerapan kehidupan berkeluarga sehari-hari selalu menekankan juga pada penerapan adat istiadat yang sudah berlaku sejak jaman nenek moyang mereka.Bagi masyarakat Suku Tengger keharmonisan hubungan antar keluarga menjadi salah satu jalan menuju kesempurnaan hidup. Masyarakat Tengger tidak mengenal nama Marga (keluarga) karena di dalam Masyarakat Tengger tidak mengenal Kasta, biasanya cara memanggil nama orang yang sudah berkeluarga dan mempunyai keturunan,dipanggil dengan nama anak pertamanya. Budaya Tengger yang unik lainnya adalah mengharuskan setiap anak laki-laki yang lahir pada hari Wage (sistem penanggalan jawa) untuk mengenakan anting di telinga kiri.
Hingga kini, warga Tengger masih belum mengetahui maksud dan tujuan budaya ini, hanya sesepuh dan dukun Tengger saja yang memahami makna tersebut.
Bahasa Sehari-hari Masyarakat Tengger Bromo
Komunikasi antar anggota masyarakat Suku Tengger adalah bahasa Jawa Tengger, dimana bahasa daerah ini masih berbau Jawa Kuno, akan tetapi mereka tidak menggunakan tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa yang dipakai pada umumnya.Mata Pencaharian Masyarakat Tengger
Masyarakat Tengger sebagian besar hidup dengan bercocok tanam/berladang. Struktur tanah yang berbukit-bukit bukan hal yang mudah untuk mengolah tanahnya, mereka menggunakan sistem terasiring , sumber air tergantung pada curah hujan, sumber air atau atau aliran air sungai.Saat ini ada matapencaharian tambahan yaitu sebagai guide, menyewakan kuda, menyewakan rumah sebagai homestay, membuka restoran atau warung makan , membuka took souvenir, menyewakan jeep dan ojek bagi pengunujung yang akan menuju Bromo.
Pemimpin Suku Tengger
Secara formal pemerintahan dan adat masyarakat Tengger dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Petinggi) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Pemilihan Petinggi melalui pemilihan lngsung oleh masyarakat. Pemimpin Ritual / Upacara Adat adalah Dukun, pemilihan melalui beberapa tahapan (menyangkut diri pribadi calon Dukun) yang pada akhirnya akan diuji melalui ujian Mulunen (ujian pengucapan mantra yang tidak boleh terputus ataupun lupa) pada waktu Upacara Kasada bertempat di Pura Luhur Poten di kaki Gunung Bromo.Pemukiman dan Rumah Tinggal
Pemukiman masyarakat Suku Tengger menempati lembah-lembah dan lereng perbukitan sekitar Gunung Bromo pada umunya berkelompok. Jarak rumah antara penduduk yang satu dengan lainnya sangat rapat, sehingga dapat dikatakan hampir tidak ada batasan yang tegas antara pagar rumah antara orang yang satu dengan pagar rumah orang yang lain. Keadaan semacam ini hampir merata diseluruh daerah pedesaan yang dihuni oleh masyarakat Tengger. Menurut mereka, bentuk perkampungan yang tidak mengenal pagar yang membatasi rumah-rumah penduduk adalah pertanda atau menunjukkan sikap hidup Masyarakat Tengger yang suka kerjasama dan gotong-royong.Upacara Adat Masyarakat Tengger
Upacara Adat Karo
Hari Raya Karo adalah hari raya terbesar masyarakat Tengger. Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya.Upacara Kapat
Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.Upacara Kawolu
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.Upacara Kasanga
Jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pandita (dukun). Selanjutnya pandita dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.Upacara Kasada
Dilaksanakan pada saat purnama bulan Kasada (ke dua belas) tahun saka, disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai dan pameran. Upacara Kasada bertujuan untuk memohon panen yang berlimpah atau meminta tolak bala dan kesembuhan atas berbagai penyakit, yaitu dengan cara mempersembahkan sesaji dengan melemparkannya ke Gunung Bromo.Sisi menarik lain dari Suku Tengger adalah makanan khas Suku Tengger. Ada Nasi Aron, Kue Kucur, sambel bawang (sambel botok), sayur bening nasi gelpungan, kentang bawang, dadar kentang , dan lain lain.
Sekilas tentang masyarakat Suku Tengger, semoga akan memperkaya khasanah pengetahuan budaya di sekitar kita, dan menambah kecintaan kita kepada budaya negri sendiri.
Posting Komentar